Memasuki dunia kerja yang dinamis, profesional muda sering bertanya: Apakah ambisi pribadi saya bisa berjalan seiring tujuan organisasi? Mereka ingin menjadi individu yang berkembang, sekaligus kehadirannya dapat menunjang produktivitas organisasi. Namun, konflik sering muncul antara tujuan diri dan apa yang organisasi harapkan.
Persaingan yang semakin kompetitif antar profesional muda pun kian menekan mereka untuk terus berkembang secara proaktif. Sejalan dengan Circumscription and Compromise Theory dari Gottfredson (2005) tekanan ini bukan semata-mata muncul karena dorongan pribadi, tetapi juga karena tuntutan situasi yang dihadapi.
Kondisi ini menyebabkan sebagian besar profesional muda membentuk goal setting yang tidak seimbang —terlalu fokus pada diri sendiri, terlalu tunduk pada organisasi, atau bahkan berakhir menjadi kehilangan motivasi untuk menetapkan tujuan sama sekali.
Situasi ini menjadi penanda pentingnya memahami bagaimana menyusun dan menyeimbangkan personal dan professional goals, agar bukan hanya berkembang sebagai individu, tetapi juga berkontribusi optimal dalam organisasi.
Siapa Itu Profesional Muda dan Apa Saja Tantangannya?
Mengacu pada Career Construction Theory dari Savickas, Social Cognitive Career Theory (SCCT) dari Lent, Brown, dan Hackett, serta Lifespan-Lifespace Theory dari Super batasan dan karakteristik profesional muda (early-career employee) umumnya:
- Berusia 25–44 tahun dengan pengalaman kerja di bawah 5 tahun.
- Sedang membangun keterampilan melalui pengalaman langsung di dunia kerja.
- Dalam proses menemukan makna antara nilai personal dan nilai organisasi.
- Aktif menyusun dan mengeksekusi tujuan karier.
- Membutuhkan dukungan sistem kerja yang memungkinkan transisi karier lebih mulus.
Selain karakteristik di atas, profesional muda umumnya juga mengalami 4 tantangan utama:

- Kesenjangan antara pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki dengan kebutuhan industri atau organisasi sehingga menuntut profesional muda untuk secara mandiri aktif mengembangkan diri. Namun di sisi lain, sering kali akses yang diberikan organisasi terhadap program atau sumber pengetahuan bersifat terbatas.
- Prospek karir, sistem evaluasi, dan apresiasi kinerja yang kurang transparan. Berdasarkan data Mercer tahun 2022 yang mencakup lebih dari 23.000 karyawan di Indonesia, walaupun 9 dari 10 karyawan mengatakan mereka bangga dengan apa yang mereka lakukan, hanya 67% yang mengindikasikan kemungkinan untuk bertahan dalam pekerjaan mereka karena kurang transparannya peluang pertumbuhan karier di organisasi.
- Tuntutan untuk mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan persyaratan keterampilan kerja dan transformasi organisasi. Sayangnya, banyak profesional muda mengalami kurang percaya diri dalam mengelola transisi karier dan transformasi organisasi yang disebabkan kurangnya dukungan dari lingkungan tempat kerja dan minimnya program pendampingan dari pekerja yang lebih senior maupun pemimpin di organisasi.
- Tuntutan pekerjaan yang tinggi dan budaya kerja yang menuntut kualitas terbaik tanpa memperhitungkan apakah pekerjaan tersebut bisa diselesaikan sesuai durasi kerja berdampak pada sulitnya mencapai kondisi work-life balance sehingga membuat profesional muda rentan mengalami kelelahan secara emosional.
Goal Setting sebagai Respons terhadap Tantangan Karier
Di tengah kompleksitas tantangan tersebut, profesional muda tetap dituntut untuk mengambil peran aktif dalam membentuk arah dan tujuan karier mereka. Salah satu bentuk respons terhadap tekanan eksternal dan ketidakpastian yang mereka hadapi adalah melalui proses goal setting yang tidak hanya dipengaruhi oleh tuntutan organisasi, tetapi juga oleh ekspektasi dan nilai-nilai pribadi (personal values) yang mereka bawa. Dengan kata lain, bagaimana profesional muda merumuskan tujuan —baik jangka pendek maupun jangka panjang— sangat dipengaruhi oleh cara mereka memaknai peran mereka dalam organisasi dan sejauh mana mereka merasa memiliki kendali atas perjalanan kariernya.
Mengapa Goal Setting Sering Tidak Selaras?
Tekanan dari luar dan ekspektasi pribadi yang tidak terpenuhi kerap menghasilkan strategi goal setting yang ekstrem: terlalu individualis, terlalu tunduk pada organisasi, atau bahkan nihil. Di sinilah pentingnya memahami dua dimensi dari teori Control-Value (Pekrun, 2006):
- Perceived Control: Seberapa besar karyawan merasa memiliki kendali atas peran dan proses kerja mereka.
- Subjective Value: Sejauh mana mereka merasa bahwa pekerjaan dan nilai organisasi itu penting, bermakna, dan relevan dengan nilai pribadi.

Hasilnya, terbentuk empat kondisi yang mungkin dialami:
1. Kontrol Tinggi + Makna Tinggi: Ketika Tumbuh dan Kontributif Menjadi Satu
Ini adalah kondisi ideal. Profesional muda merasa memiliki kendali atas peran dan tanggung jawabnya, sekaligus melihat bahwa pekerjaan mereka punya makna yang dalam—baik secara personal maupun bagi organisasi. Tujuan pribadi dan organisasi berjalan selaras, dan mereka terdorong untuk berkontribusi secara berkelanjutan.
Kondisi ini hanya mungkin tercipta ketika sistem organisasi menyediakan kejelasan peran, ruang pengambilan keputusan, serta dukungan dari atasan maupun rekan kerja. Hasilnya adalah profesional muda yang bukan hanya termotivasi, tetapi juga memiliki arah dan semangat untuk mencapai tujuan jangka panjang bersama organisasi.
2. Kontrol Rendah + Makna Tinggi: Ketika Semangat Tidak Bertemu Dukungan
Di sini, semangat dan keyakinan terhadap tujuan organisasi sebenarnya ada. Namun, profesional muda merasa tidak punya cukup kendali untuk mengeksekusinya. Hambatan struktural, komunikasi yang tidak efektif, atau sistem kerja yang kurang mendukung membuat proses mencapai tujuan menjadi mandek.
Mereka tahu apa yang ingin dicapai, tetapi tidak tahu bagaimana mencapainya dalam konteks organisasi. Situasi ini rentan menimbulkan frustasi dan membuat energi positif yang seharusnya produktif menjadi tertahan.
3. Kontrol Tinggi + Makna Rendah: Ketika Bekerja Hanya Sebagai Tugas, Bukan Tujuan
Dalam kondisi ini, profesional muda mampu menjalankan pekerjaannya dengan baik. Namun, mereka tidak menemukan makna di balik apa yang mereka lakukan. Hasilnya, pekerjaan dilakukan secara mekanis dan pragmatis—sekadar memenuhi harapan, tanpa ada keterikatan emosional maupun visi jangka panjang.
Penyebabnya bisa beragam: peran yang tidak berkembang, pekerjaan yang terlalu monoton, hingga kurangnya umpan balik dan apresiasi. Profesional muda dalam situasi ini sering kali merasa stagnan meskipun tampak “berfungsi” dari luar.
4. Kontrol Rendah + Makna Rendah: Saat Energi dan Arah Sama-Sama Menghilang
Ini adalah kondisi paling kritis. Profesional muda merasa tidak punya kendali atas apa yang mereka kerjakan, dan sekaligus tidak melihat alasan mengapa pekerjaan itu penting. Reaksinya bisa berupa apatis, sekadar memenuhi batas minimum, hingga penarikan diri secara perlahan dari organisasi.
Rendahnya rasa percaya diri, kurangnya bimbingan dari rekan senior, serta tidak adanya ruang pertumbuhan menjadikan mereka kehilangan arah. Dalam jangka panjang, kondisi ini bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga menjadi tantangan serius bagi organisasi dalam menjaga retensi dan produktivitas talenta muda.
Refleksi: Kontrol dan Makna Bukanlah Pilihan, Tapi Kebutuhan
Keempat kondisi di atas tidak berdiri sendiri. Mereka menunjukkan bahwa untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif, organisasi perlu membangun sistem yang mampu menjaga keseimbangan antara kontrol dan makna.
Bukan hanya soal memberikan tanggung jawab, tapi juga memastikan bahwa setiap individu bisa melihat alasan mengapa mereka bekerja. Dan bukan hanya tentang memotivasi secara emosional, tapi juga menyediakan struktur yang memungkinkan eksekusi berjalan efektif.
Menemukan Titik Temu antara Personal dan Organisational Goals
Menurut studi Paleń-Tondel & Smolbik-Jęczmień (2024), selarasnya personal values dan organizational values terbukti meningkatkan motivasi, keterlibatan, dan performa kerja. Namun, harmoni ini tidak terjadi secara otomatis. Organisasi juga harus menciptakan sistem yang mendukung high perceived control dan positive subjective value. Sejalan dengan KTM Solutions, hal ini kami kerangkakan melalui dua fondasi berikut:

1. Foundational
- Sosialisasi visi, misi, dan nilai organisasi secara sistematis.
- Memberikan ruang eksplorasi yang terarah agar profesional muda mampu menerjemahkan nilai organisasi ke dalam rencana kerja konkrit.
- Penerapan job autonomy yang jelas, agar profesional muda merasa diberdayakan.
2. Capabilities
- Transparansi sistem evaluasi, pengakuan, dan pengembangan karier.
- Dukungan teknologi dan SOP kerja yang efisien.
- Kepemimpinan yang aktif dalam mentoring, coaching, dan monitoring perkembangan anggota tim muda.
Langkah Praktis: Menavigasi Tujuan yang Bermakna
Tidak bisa dipungkiri perjalanan menyelaraskan tujuan pribadi dan tujuan organisasi perlu dibangun (≠ bukan dipaksakan) dan menyelaraskan ≠ mengorbankan. Melalui pendekatan yang tepat, profesional muda bisa menemukan titik temu yang menguntungkan diri sendiri dan juga organisasi. Berikut adalah beberapa best practices yang bisa dicoba:
1. Ubah Cara Pandang
Tidak jarang profesional muda merasa kalau menyelaraskan diri dengan tujuan organisasi berarti menekan maupun mengeliminasi tujuan pribadi. Padahal, yang perlu dilakukan adalah menemukan irisan di mana kontribusi yang kamu lakukan untuk organisasi juga mendekatkanmu kepada cita-cita besar dan perencanaan karier yang ingin kamu capai.
Dengan demikian tujuan dan langkah-langkah konkrit dalam goal-settings mu juga akan menyentuh area ‘pengembangan diri’ yang terbentuk berdasarkan kebutuhan personal dan profesional saat bekerja di organisasi yang pada akhirnya membuat kamu selangkah lebih dekat dengan tujuan jangka panjang dan aspirasi karier yang ingin kamu capai.
2. Gunakan Matriks Personal-Organizational Fit
Untuk membantu proses penyelarasan tujuan pribadi dan organisasi gunakan matriks personal-organizational fit.
Buat dua kolom, satu untuk tujuan pribadi dan satu lagi untuk tujuan organisasi. Kemudian cari aktivitas yang dapat memenuhi kedua tujuan tersebut. Dengan begitu kamu lebih bisa melihat kalau sebenarnya tujuan pribadi dan tujuan organisasi selaras.

3. Lakukan Refleksi dengan Metode SEAL
Refleksi diri secara berkala perlu dilakukan oleh profesional muda untuk memastikan kamu stay on track alias tidak kehilangan arah dan berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuan pribadi dan organisasi.
Metode SEAL dapat memandu proses refleksimu, membantu menganalisis situasi, kondisi, maupun tantangan yang kamu hadapi saat ini serta memantik apa yang bisa kamu lakukan untuk menghasilkan output dan impact yang lebih baik lagi.
- Situation: Apa yang terjadi? Apa tantangannya?
- Effect: Apa dampaknya? Apa yang kamu rasakan?
- Action: Apa tindakan atau strategi yang kamu ambil?
- Learning: Apa pelajaran yang kamu ambil untuk masa depan?
4. Evaluasi Tujuan Secara Berkala
Setiap fase kerja bisa mengubah prioritas dan perspektif. Evaluasi berkala membantu memastikan kamu tetap berada di jalur yang tepat.

5. Cari Mentor
Menurut Ragins dan Kram (2007), mentor yang tepat bisa menjadi katalis dalam menemukan keseimbangan antara ambisi pribadi dan ekspektasi organisasi. Mereka juga membuka jalan untuk akselerasi karier yang lebih strategis. Karena Mentor yang berpengalaman dapat memberikan wawasan praktis mengenai cara berkontribusi kepada organisasi tanpa mengabaikan tujuan pribadi hingga mengarahkan pengembangan kompetensi diri yang mendukung tujuan bersama.
Profesional muda memang dituntut proaktif dalam membentuk arah karier, tetapi sistem organisasi juga harus hadir sebagai katalisator. Ketika nilai personal dan nilai organisasi mampu berjalan beriringan, maka bukan hanya individu yang bertumbuh tetapi organisasi pun dapat bergerak lebih cepat menuju tujuannya.
Ingin merancang tujuan individu dan organisasi yang saling terkoneksi?
Konsultasikan bersama KTM Solutions, kami membantu organisasi menciptakan ekosistem kerja yang mendukung high-performing young talent melalui pendekatan berbasis riset, framework organisasi, dan pengalaman lintas industri. Mari diskusikan solusi terbaik untuk organisasi Anda.